Menguak Sisi Gelap dalam Tugas: Dilema Penegakan Hukum dan Kekerasan Oknum Polisi
Isu mengenai arogansi dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi dalam penanganan massa aksi seringkali mencuat ke permukaan publik. Hal ini menciptakan Dilema Penegakan hukum yang kompleks di mata masyarakat. Di satu sisi, Kepolisian bertugas memelihara ketertiban dan keamanan; di sisi lain, tindakan represif yang berlebihan justru mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kode etik profesi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Banyak rekaman video dan laporan saksi mata menunjukkan adanya penggunaan kekuatan yang tidak proporsional saat penanganan massa aksi. Mulai dari pemukulan, tendangan, hingga penggunaan gas air mata yang tidak sesuai prosedur. Tindakan kekerasan oknum polisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang standar operasional prosedur (SOP) dan pelatihan pengendalian massa yang diberikan oleh institusi.
Salah satu akar masalah terletak pada interpretasi diskresi atau kewenangan bebas yang dimiliki oknum polisi di lapangan. Ketika situasi memanas atau massa mulai anarkis, batas antara tindakan tegas yang dibenarkan dan kekerasan oknum polisi yang melanggar hukum menjadi sangat tipis. Inilah inti dari Dilema Penegakan hukum yang dihadapi institusi Polri saat ini.
Padahal, peraturan internal Polri secara tegas melarang anggota bersikap arogan, terpancing emosi, dan melakukan kekerasan yang tidak sesuai prosedur saat penanganan massa aksi. Fokus utama seharusnya adalah upaya persuasif dan non-penal, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia setiap warga negara, termasuk pengunjuk rasa.
Tindakan kekerasan oknum polisi tidak hanya melanggar hukum pidana seperti penganiayaan, tetapi juga mencoreng citra institusi di mata publik. Fenomena ini menyebabkan krisis kepercayaan yang mendalam, membuat masyarakat meragukan komitmen Kepolisian terhadap reformasi dan perlindungan hak asasi manusia warga sipil.
Untuk menyelesaikan Dilema Penegakan ini, diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap oknum polisi yang terbukti melakukan kekerasan. Proses hukum, baik melalui mekanisme disiplin, kode etik, maupun pidana, harus berjalan transparan. Impunitas adalah musuh utama dalam upaya memperbaiki perilaku aparat saat penanganan massa aksi.
Selain penegakan sanksi, institusi Kepolisian perlu mengevaluasi total program pelatihan pengendalian massa. Pelatihan harus menekankan pendekatan humanis, de-eskalasi konflik, dan penghormatan hak asasi manusia sebagai prioritas utama. Perubahan mentalitas adalah kunci untuk menghentikan siklus kekerasan oknum polisi.
