Kewajiban Polisi dalam Kasus KDRT: Protokol Penanganan Cepat dan Perlindungan Korban
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindak pidana serius yang memerlukan respons cepat, sensitif, dan terkoordinasi dari aparat penegak hukum. Kewajiban Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam menghadapi KDRT tidak hanya terbatas pada proses penyelidikan, tetapi yang terpenting adalah mengaktifkan Protokol Penanganan cepat untuk menjamin keselamatan korban dan memutus rantai kekerasan. Protokol Penanganan ini mengedepankan aspek perlindungan korban, yang seringkali rentan terhadap ancaman balasan dari pelaku, serta memastikan bukti-bukti dikumpulkan secara sah dan utuh sejak awal pelaporan. Kesigapan polisi adalah kunci utama dalam memberikan rasa aman kepada korban dan keluarganya.
Langkah pertama dalam Protokol Penanganan KDRT adalah penanganan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polres atau Polsek. Berbeda dengan kasus pidana umum, petugas PPA harus memiliki sensitivitas gender dan psikologis yang tinggi. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tentang Penanganan Kasus KDRT, petugas wajib segera membawa korban ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan visum et repertum (VeR) dan pertolongan medis. Visum ini harus diterbitkan oleh rumah sakit atau Puskesmas dan merupakan alat bukti primer yang sah di pengadilan.
Aspek kedua dari Protokol Penanganan adalah perlindungan fisik. Dalam waktu 1 x 24 jam setelah laporan diterima, polisi wajib mengeluarkan Surat Perintah Perlindungan (SPP) yang melarang pelaku mendekati korban dalam jarak dan jangka waktu tertentu. Jika korban merasa nyawanya terancam, polisi harus memfasilitasi penempatan korban di rumah aman (safe house) atau shelter yang bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Pada 5 Juni 2025, Polda Metro Jaya meresmikan tambahan tiga rumah aman baru, menunjukkan komitmen terhadap penyediaan tempat berlindung yang memadai.
Selain itu, kewajiban polisi juga mencakup aspek pendampingan. Korban KDRT berhak didampingi oleh psikolog atau konselor selama proses pemeriksaan. Petugas PPA harus memastikan bahwa interogasi dilakukan di ruang yang ramah anak dan perempuan, menghindari tekanan yang dapat memperburuk trauma korban. Komitmen untuk melaksanakan Protokol Penanganan KDRT yang profesional dan humanis menjadi indikator penting bagi Polri dalam menjalankan fungsi sebagai pelayan dan pelindung masyarakat. Dengan demikian, setiap anggota Polri yang menerima laporan KDRT diwajibkan memahami dan menerapkan langkah-langkah prosedural ini secara tegas dan tanpa kompromi.
